Artikelku di Koran Nasional yang Menentang Kriminalisasi KPK dan ICW

Artikelku di KORAN TEMPO

Artikelku di KORAN TEMPO (Oktober 2009)

Inilah tulisan saya di media cetak nasional yang saya anggap paling provokatif dan paling “berani”.  Tulisan saya ini setidaknya  mengawali (sepengetahuan saya)  bahkan boleh dianggap menginisiasi berbagai gerakan-gerakan massa di tanah air dalam melawan kriminalisasi dua orang pimpinan KPK “Bibit-Chandra” serta aktivis ICW oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan. Pemantik dari penulisan Opini ini disebabkan pada saat itu saya merasa berbagai Opini yang berkembang, baik di media massa cetak maupun elektronik, masih bersifat normatif dan kurang berani bila harus memutuskan untuk berpihak kepada siapa. Ini sekaligus merupakan antitesis dari Opini yang ditulis oleh : Prof. Dr. Satjipto Raharjo, S.H. (alm) dan Prof. Dr. Sarlito W. di KOMPAS.  Setelah tulisan saya diterbitkan barulah kemudian muncul berbagai Opini serupa dan gerakan-gerakan massa di seluruh penjuru tanah air.

Masalah Etika Ketua DPR dan Wakilnya

     Oleh: Danang Probotanoyo

    Di negeri ini kerap terjadi kerancuan antara hal yang pantas dan tidak pantas; sesuatu yang etis dan tidak etis. Semuanya serba “fleksibel”, tergantung kepentingan pelakunya. Sekadar butuh kelicinan dalam berkelit dan berdalih, maka sesuatu yang tidak pantas bisa dianggap kepantasan. Sesuatu yang tak etis dapat pula dianggap etis.

Opiniku di Tribun Jogja 8 Sep 15-2

Opini Saya di Tribun Jogja, Medio: Sept 2015

     Kasus munculnya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Setya Novanto, dan Wakilnya, Fadli Zon, di ajang “konferensi pers” Donald Trumph (2/9), tak pelak mencuatkan pro-kontra soal kepantasan dan etika tersebut. Bagaimana tidak, Donald Trump yang kini berkontestasi di Partai Republik guna persaingan kursi presiden Amerika mendatang, justru seolah mendapat endorsement dari ketua dan wakil ketua DPR Indonesia. Meski pihak Setya Novanto dan Fadli Zon mengatakan kehadiran mereka sebatas di konferensi persnya Donald Trump, tapi fakta menunjukkan konferensi pers itu terkait dengan kampanye Trump. Adanya tulisan-tulisan bernada dukungan terhadap Trump yang dipegang pendukungnya, mengindikasikan itu sebuah rangkaian kampanye pencalonan Trump. Jelas bahwa kehadiran Setya dan Fadli di arena tersebut dijadikan endorsement gratis Trump. Di podium, Trump sempat memperkenalkan Setya Novanto sebagai ketua DPR Indonesia sekaligus orang terkuat Indonesia, khusus hadir untuknya.

Opini Saya di Tribun Jogja, Medio: Sept 2015

Opiniku di Tribun Jogja, Medio: Sept 2015

 

     Berkat kelihaian Trump, seolah dirinya mendapat “restu” dari Setya Novanto (dan seluruh rakyat Indonesia) dalam pencalonannya itu. “Apakah Indonesia menyukai Saya?” tanya Trump, yang diiyakan oleh Setya Novanto. Tafsiran dan implikasi pertanyaan Trump serta jawaban Setya itu mengerucut pada persepsi dukungan kepada Trump. Donald Trump seolah berkata kepada publik Amerika, bahwa rakyat Indonesia (diwakili jawaban Setya Novanto) sungguh-sungguh mendukung dirinya. Pun Indonesia sebagai salah satu negara besar, sekaligus mitra strategis Amerika di kawasan Asia Tenggara, dipersepsikan tak memiliki resistensi kepada Trump saat dirinya maju pilpres atau bila kelak terpilih sebagai presiden Amerika. Implikasinya tentu kurang bagus bagi persepsi “Indonesia” di mata lawan politik Trump, baik di internal Partai Republik, lebih-lebih kubu Partai Demokrat. Mereka bisa menyangka “Indonesia”, yang diwakili Setya Novanto, lebih menginginkan Trump, asal Partai Republik, sebagai bakal presiden Amerika mendatang. Padahal Amerika saat ini sedang diperintah Presiden Barrack Obama yang berasal dari kubu Demokrat. Tentu ini tidak baik bagi hubungan kekiniaan Indonesia-Amerika. “Indonesia” dipandang tak etis oleh pihak-pihak yang berseberangan dengan Trump, karena berusaha mencampuri urusan internal Amerika.

       Apa yang dilakukan Setya Novanto dan Fadli Zon dan beberapa lainnya, bagi publik Tanah Air juga dipandang tak pantas. Mereka dianggap menyalahgunakan uang rakyat untuk kepentingan mereka sendiri. Jelas tak ada relevansi dan urgensinya pencalonan Donald Trump bagi rakyat Indonesia. Staf Khusus Ketua DPR, Bidang Komunikasi Politik, Nurul Arifin berkilah bahwa pertemuan Setya Novanto dan Fadli Zon dengan Donald Trump dalam rangka membincangkan investasi Trump ke Indonesia juga patut dipertanyakan. Soal investasi jelas bukan domain DPR, melainkan eksekutif. Fungsi DPR hanya tiga, yakni legislasi, pengawasan dan budgeting, bukan menjalin komunikasi bisnis apalagi menarik investasi. Belum lagi bila dilihat menyimpangnya tujuan mereka ke Amerika. Mereka dibiayai rakyat untuk menghadiri acara IPU (Inter Parliamentary Union) atau Konferensi Ketua Parlemen Dunia, bukan mendatangi acara seorang kontestan partai di Amerika. Ini jelas kontraproduktif dengan besarnya biaya yang dikeluarkan rakyat bagi mereka. Menurut Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) anggaran yang dihabiskan para wakil rakyat ke Amerika bisa lebih dari Rp. 10 milyar rupiah. Sebuah angka fantastis dan tak pantas bila dikaitkan dengan kondisi ekonomi negara saat ini dan agenda sampingan mereka ketemu Trump.

Danang Probotanoyo, Centre for Indonesia Reform Studies, Alumni UGM

Proteksi Bahasa bagi Pekerja Nasional

Oleh: Danang Probotanoyo

     Presiden Joko Widodo menginginkan agar syarat kemampuan berbahasa Indonesia dihapuskan bagi tenaga kerja asing (TKA). Hal itu dimaksudkan untuk menggenjot investasi asing masuk ke Indonesia (21/8). Menurut Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, presiden telah meminta Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri, segera merevisi aturan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 12 Tahun 2013. Di pasal 26 ayat (1) dinyatakan bahwa TKA harus dapat berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia. Seyogianya penghapusan aturan itu perlu ditelaah lebih dalam agar tidak kontraproduktif. 

Opini Saya di Banjarmasin Post, Medio: Agustus 2014

Opini Saya di Banjarmasin Post, Medio: Agustus 2015

 

   Ada beberapa hal yang masih menyisakan tanya di publik. Pertama, keinginan presiden menghapus syarat bisa berkomunikasi (berbahasa) Indonesia bagi TKA sangat rancu bila dikaitkan bakal derasnya aliran investasi asing masuk ke Indonesia. Syarat bisa berbahasa Indonesia dalam permennaker tersebut jelas ditujukan bagi TKA, bukan investor. TKA dengan investor berbeda secara terminologis. TKA adalah orang-orang asing yang dipekerjakan oleh pemberi kerja untuk bekerja di Indonesia dengan upah tertentu. Sedang investor asing merupakan individu, badan atau perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Indonesia agar berkembang. Jadi, syarat bisa berbahasa Indonesia bukan barrier investor asing masuk ke Indonesia. Syarat bisa berbahasa Indonesia hanya “memperkecil” pintu masuk TKA yang ingin bekerja di Indonesia. Dalam percaturan dunia kerja global, persyaratan bisa berbahasa di negara yang menjadi tujuan sangatlah lazim. Seperti TKI yang harus bisa berbahasa Arab bila ingin bekerja di Timur Tengah. Atau memiliki kemampuan berkomunikasi dalam Bahasa Mandarin saat hendak bekerja di Hong Kong, Macau atau Taiwan. Tentu persyaratan bahasa tersebut bagi TKI yang melalui jalur resmi, bukan TKI illegal yang kerap mendatangkan banyak permasalahan.

     Presiden dan menaker harus menjelaskan secara transparan dan gamblang, apakah penghapusan syarat “bisa berbahasa Indonesia” murni bertujuan supaya aliran investasi asing masuk ke Indonesia ataukah demi mengakomodir TKA menjadi leluasa membanjiri Indonesia? Kedua, belum ada kajian korelasi antara penghapusan syarat bisa berbahasa Indonesia dengan bakal derasnya aliran investasi asing masuk ke Indonesia. Sudah puluhan tahun, ribuan investor asing masuk ke Indonesia tanpa pernah ada permasalahan soal bahasa. Para pemilik Multi National Corporation (MNC) yang berinvestasi di Indonesia kebanyakan malah menggunakan jasa orang-orang Indonesia mulai direksi, manajer hingga staf untuk mengendalikan usahanya di sini. Perusahaan asing umumnya hanya menyisakan posisi level CEO untuk warganya. Bahkan tak sedikit CEO perusahaan asing yang diisi orang Indonesia.

     Jadi, syarat bisa berbahasa Indonesia bukan kendala bagi investasi (asing) tapi lebih menjadi barrier TKA yang ingin bekerja di Indonesia. Itupun tidak semua TKA harus bisa berbahasa Indonesia. Sebab, dalam pasal 26 ayat (2) permennaker tersebut menerangkan, syarat bisa berbahasa Indonesia tidak berlaku bagi TKA dengan jabatan komisaris, direksi atau pekerjaan yang bersifat sementara. TKA dengan posisi tadi masih bisa menggunakan jasa translater bila ingin berkomunikasi. Jelasnya, syarat bisa berbahasa Indonesia hanya berlaku bagi TKA pada level di bawah komisaris dan direksi serta bidang pekerjaan yang bersifat permanen. TKA level manajer, staf hingga karyawan paling bawah tetap harus bisa berbahasa Indonesia. Justru pada lapisan kategori karyawan yang “gemuk” itulah calon pekerja Indonesia berjejalan ingin melamar. Para pelamar kerja asing harus berkompetisi dengan pelamar kerja Indonesia. Dengan adanya syarat bisa berbahasa Indonesia itu jelas menguntungkan para pencari kerja Indonesia Artinya, syarat bisa berbahasa Indonesia memberi kans lebih besar bagi pekerja Indonesia untuk memasuki dunia kerja yang disediakan investor, karena secara otomatis sudah bisa berbahasa Indonesia. Menghapus syarat bisa berbahasa Indonesia bagi TKA bisa jadi akan memperkecil peluang WNI dalam mengisi lapangan kerja yang ada.

     Nalar yang mengaitkan penghapusan syarat bisa berbahasa Indonesia dengan banyaknya investor asing yang bakal masuk justru mengundang tanya. Bisa jadi investor asing yang akan masuk ke Indonesia sudah berancang-ancang akan membawa sendiri para pekerja dari negara mereka sendiri. Fenomena ini sudah terjadi di beberapa negara Afrika dan Timor Leste, dimana investor Tiongkok membawa serta pekerjanya sekaligus ke sana. Di sebuah proyek pembangunan PLTU di Indonesia hal yang demikian pun terjadi, dimana kuli bangunan hingga satpamnya berasal dari Tiongkok.

     Selama ini diketahui bahwa faktor penghambat investasi di Indonesia berkutat ke soal-soal: infrastruktur, kepastian hukum, birokrasi dan perpajakan. Faktor “bisa berbahasa Indonesia” belum pernah disebut. Kalaupun ada persoalan bahasa, itu lebih ke dalam diri tenaga kerja Indonesia sendiri yang kurang menguasai bahasa asing ketika berhadapan dengan pasar kerja internasional. Dari data International Finance Corporation (2014) menyangkut kemudahan berinvestasi, Indonesia berada di peringkat ke 120 dari 189 negara. Bandingkan dengan Singapura di peringkat pertama, Malaysia ke-6, Thailand ke-18, Brunei ke-59, Vietnam ke-99, Filipina ke-108. Dijelaskan bahwa rendahnya peringkat Indonesia dalam iklim investasi disebabkan kurangnya pasokan listrik, infrastruktur kurang memadai, birokrasi yang berbelit (bahkan korup), masalah perpajakan dan kontrak (menyangkut kepastian hukum).

     Menghilangkan syarat bisa berbahasa Indonesia bagi TKA bisa kontraproduktif. Investasi asing yang diharapkan dapat mengurangi pengangguran di dalam negeri bisa tak terwujud. Soekarno dalam konsep Tri Saktinya mengajarkan kita untuk memiliki kepribadian dalam kebudayaan. Bahasa Indonesia sebagai bentuk budaya nasional hendaknya dipegang teguh sebagai identitas, kepribadian dan kebanggaan bangsa. Mewajibkan orang asing yang mencari uang di Indonesia berbahasa Indonesia, tentu sejalan dengan Tri Sakti Bung Karno.

Danang Probotanoyo, Centre for Indonesia Reform Studies, Alumni UGM

Stop Perploncoan Siswa

Oleh: Danang Probotanoyo

Opini Saya di Lampung Post, Medio: Agustus 2015

Opini Saya di Lampung Post, Medio: Agustus 2015

     Meski Mendikbud, Anies Baswedan, sudah mewanti-wanti agar tak ada lagi perploncoan, namun beliau masih menjumpainya tatkala sidak MOS (Masa Orientasi Siswa) di SMA N 2 Tangerang (29/7). Padahal perploncoan sudah dilarang melalui Permendikbud No. 55 Tahun 2014. MOS bagi siswa baru yang sejatinya tahap pengenalan lingkungan tempat belajar kerap disalahgunakan oknum siswa senior (bahkan sekolah tertentu). Bukan membuka wawasan bagi siswa baru hal lingkungan sekolah, sistem pengajaran, sarana prasarana pendidikan, namun dibelokkan menjadi ajang perploncoan. Sekolah ternyata menjadi tempat potensial kekerasan terhadap anak atau siswa. Dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan 66,5  persen atau 628 anak pernah mengalami kekera­san yang dilakukan guru, 74,8 persen 767 anak pernah menga­lami kekerasan yang dilakukan te­man sekelas (74,8 %), dan se­banyak 578 anak pernah menga­la­mi kekerasan yang dilakukan teman lain kelas (56,3 %). Di luar itu tentu saja masih banyak insiden yang tak terlaporkan dan terdata.

     MOS dengan pelaksana siswa senior (kakak kelas atau kakak angkatan) kerap sebagai ajang bullying terhadap siswa baru atau yuniornya. Pihak sekolah dan guru semestinya mengawasi secara ketat event tahunan itu. Jangan setelah memakan korban lantas cuci tangan atau pura-pura tak tahu menahu seperti selama ini terjadi. Sebagai yunior, siswa baru seringkali dipermalukan dengan cara disuruh berdandan atau memakai aksesori layaknya orang tak normal. Diperintah mengenakan kaos kaki beda warna antara kiri dan kanan, membawa “tas” karung goni hingga berikat pinggang tali rafia menjadi “umum” dalam perploncoan. Ironis, penampilan ganjil ala peserta MOS rupanya menjadi hiburan gratis buat para senior dan menerbitkan tawa murahan mereka. Tak hanya sisi penampilan yang dijadikan olok-olokan, siswa baru sering dibebani pula untuk membawa barang-barang yang susah dicari pada eranya, misal disuruh membawa penggaris dari kayu. Di sekolah menjadi bahan lelucon, pulangnya masih disibukkan mencari “barang langka” untuk dibawa esok harinya. Tak ayal orang tua siswa baru harus ikut kelimpungan mencari material dan asesoris yang mesti dibawa.

Opini Saya di Lampung Post, Medio: Agustus 2015

Opini Saya di Lampung Post, Medio: Agustus 2015

 

     Saat perploncoan, siswa baru kerap pula kehabisan tenaga akibat banyaknya aktifitas fisik. Apesnya lagi kalau masih harus menerima hukuman fisik dari senior bila dipandang melakukan satu kesalahan. Push up, squat jump, jalan jongkok atau disuruh berteriak tak mengulang kesalahan lagi menjadi menu hukuman para senior untuk yuniornya. Di beberapa sekolah kedinasan bahkan bisa lebih ekstrim lagi hingga dipukuli atau ditendang.

     Pelbagai aktifitas perundungan di atas jelas sekali bahwa siswa baru dijadikan obyek bullying para seniornya, baik secara fisik maupun psikis. Mereka yang melakukan perundungan punya kilah bahwa tindakan perundungan itu semata untuk melatih mental dan fisik yuniornya. Ini jelas dalih yang keblinger! Mempermalukan siswa baru sedemikian rupa dan menguras energinya demi untuk kesenangan senior hanya akan memunculkan trauma, rendah diri bahkan menyimpan balas dendam kelak bila punya yunior. Akibatnya kekerasan dalam MOS menjadi lingkaran setan dan “tradisi” yang berulang. Melatih mental dan fisik ada wadahnya sendiri. Misalnya sewaktu memilih kegiatan ekstra kurikuler (ekskul), para siswa yang tertarik aktifitas fisik bisa masuk ke ekskul basket, voli, sepak bola, karate dan sebagainya. Bagi yang ingin melatih mental bisa ikut ekskul teater atau pencinta alam. Yang berbakat pada seni bisa ikut vokal grup, band atau menari.

       Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan nasional sudah menekankan bahwa pendidikan hendaknya bertujuan untuk memanusiakan manusia (humanisasi) dan membentuk manusia yang merdeka. Perploncoan atau perundungan yang berdampak pada kekerasan fisik dan psikis jelas menyimpang dari tujuan pendidikan yang humanis dan merampas jiwa merdeka siswa. Ki Hajar Dewantara menawarkan konsep “among” dalam mendidik siswa. Dalam “among” kodrat alamiah peserta didik disokong sepenuhnya. Bukan dengan cara perintah dan larangan, tetapi lebih dengan tuntunan dan bimbingan. Dengan begitu perkembangan batin peserta didik dapat berkembang dengan baik sesuai dengan kodratnya.

     Untuk itu adanya surat edaran Mendikbud, Anies Baswedan, nomor 59389/MPK/PD/Tahun 2015, yang melarang keras adanya praktik yang menjurus perpeloncoan, pelecehan, kekerasan terhadap peserta didik baru baik secara fisik, maupun psikologis patut diapresiasi dan perlu pengawalan semua pihak. Selain melanggar Permendikbud, pelbagai kekerasan dalam MOS juga melanggar Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 B ayat 2, dan pasal 54 Un­dang-Undang Nomor 23 Ta­hun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

     Senafas itu, para orang tua siswa pun perlu dihindarkan dari aksi “perundungan” oleh sekolah berupa aneka kutipan yang membebani, seperti: biaya buku pelajaran, seragam, biaya MOS yang tak rasional dan lain sebagainya. Sebab, musim tahun ajaran baru kerap digunakan para “mafia” buku, seragam dan lainnya sebagai peluang untuk menguras kantong orang tua siswa baru.

Danang Probotanoyo, Centre for Indonesia Reform Studies, Alumni UGM

Dana Narsis Wakil Rakyat

Oleh: Danang Probotanoyo

Copy of Tribun Jogja-16 Juni 2015

Opini saya di Tribun Jogja, Medio: Juni 2015

     Entah apa yang ada dibenak para wakil rakyat yang ada di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) saat ini. Di tengah gencarnya pemberitaan kondisi sosial ekonomi negara dan masyarakat yang kurang menguntungkan, mereka justru menggulirkan dana aspirasi. Tak tanggung-tanggung, para anggota dewan mengusulkan dana aspirasi Rp 20 miliar per anggota, alias Rp 11,2 triliun setiap tahunnya. Alih-alih berupaya keras agar “image” DPR membaik di mata publik, justru mereka semakin membuat masyarakat jengah.

     Selama ini publik terlanjur memiliki penilaian minor kepada para wakilnya di Senayan itu. Dari data di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dinyatakan bahwa DPR sebagai lembaga terkorup selama 5 tahun berturut-turut sejak tahun 2009-2013 (tahun 2012 dan 2013 terkorup bersama Kepolisian). Nama-nama seperti M. Nazaruddin, Angelina Sondakh, Al Amien Nasution, Anas Urbaningrum hingga yang terakhir Sutan Batoegana, menjadi ikon laku koruptif wakil rakyat.

     Begitupun persidangan di DPR yang seharusnya dijadikan ajang pembahasan nasib bangsa, nyatanya sering lengang ditinggal bolos anggotanya tanpa alasan yang jelas. Seperti pada Sidang Paripurna DPR, 20 Mei 2015, yang hanya dihadiri tidak sampai separuh dari 560 anggota. Padahal salah satu agenda terpenting saat itu mengenai RAPBN 2016. Bukan pemandangan baru pula bila kamera para wartawan kerap menangkap para wakil rakyat tengah tidur pulas di saat sidang. Belum lagi yang terkait fungsi dan tugas dewan dalam program legislasi nasional selalu tak memenuhi target, baik segi kuantitas maupun kualitas. Namun anehnya, semua itu tak jua membuat mereka malu. Segala hal yang tak patut itu tak kunjung diperbaiki.

Opini Saya di Tribun Jogja, Medio: Juni 2015

Opini Saya di Tribun Jogja, Medio: Juni 2015

 

     Di tengah gambaran DPR RI yang serba “bopeng” tadi, mereka justru menyembulkan wacana dana aspirasi dengan jumlah fantastis. Padahal tanpa dana aspirasi pun, bila para anggota dewan di setiap pembahasan APBN mampu mengartikulasikan kemauan publik dan pemilihnya, otomatis APBN itu sendiri sudah merupakan wujud aspirasi rakyat. Secara garis besar usulan dana aspirasi itu sangatlah tidak tepat. Pertama, DPR bukanlah lembaga eksekutor yang bisa menggunakan anggaran negara untuk melakukan kegiatan terkait pembangunan. Bisa terjadi tumpang tindih fungsi, tugas dan wewenang antara legislatif dengan eksekutif. Kedua, terjadi modus praktik pork barrel (gentong babi) dimana anggota dewan berpamrih mendapat simpati publik namun dengan cara memakai uang negara. Mereka ingin terlihat bak “Sinterklas” yang membagi-bagi hadiah, dengan menggunakan dana APBN.

     Syahwat “narsisme” anggota dewan tersebut tentu demi kelanggengan kursinya di Senayan. Itu bisa menjadi penghalang bagi calon-calon anggota dewan yang baru, yang mungkin lebih berkualitas. Mereka bakal kalah bersaing dengan muka-muka lama yang narsis tanpa modal sendiri.

     “Narsisme” DPR rupanya juga menjangkiti anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Bila DPR meminta dana aspirasi, DPD meminta dibangunkan kantor di setiap daerah. Anggaran yang dipatok kisaran Rp. 20 milyar hingga Rp. 30 milyar per kantor atau total butuh sekitar Rp. 740 milyar! Artinya dana membangun sebuah gedung DPD di daerah bisa untuk membuat 2-3 rumah sakit daerah tipe sedang! Gedung semahal itu pun hanya akan sesekali ditempati anggota DPD yang jumlahnya cuma beberapa orang setiap daerahnya. Padahal diyakini bahwa anggota DPD akan lebih sering berada di Jakarta daripada di daerah. Belum lagi membicarakan soal dana operasional dan pemeliharaan gedung yang akan menguras budget. Tidakkah lebih efisien bila anggota DPD “dicangkokkan” pada setiap kantor DPRD yang sudah ada di daerah? Atau mungkin disewakan rumah sederhana sebagai kantor. Intinya bukan pada menterengnya kantor, tapi sejauh mana DPD mau dan mampu menyampaikan aspirasi rakyat di daerahnya, itu yang penting!

Danang Probotanoyo, Centre for Indonesia Reform Studies, Alumni UGM

Menciptakan Kedamaian Natal

Oleh: Danang Probotanoyo

IMG_2242

OPINI saya di Tribun Jogja, Medio: Desember 2014

      Pada malam Natal 24 Desember 2000, terjadi serentetan serangan bom di sejumlah gereja di Indonesia. Sejumlah gereja menjadi porak poranda karenanya. Serangan yang akhirnya diketahui dilakukan oleh kelompok Jamaah Islamiyah. Dalam peristiwa itu, gereja-gereja di Jakarta menjadi target sasaran teror bom paling banyak. Berdasarkan data Polda Metro Jaya, saat itu terjadi enam kasus peledakan gereja di Jakarta. Masing-masing adalah Gereja Kathedral, Gereja Kanisius, Gereja Anglikan, Gereja Oikumene, Gereja Koinonia, dan Gereja Santo Josef. Kumulatif secara nasional terjadi pengeboman 15 gereja di beberapa kota Indonesia pada malam itu. Laporan resmi menyebut sedikitnya 20 orang tewas, 35 luka berat, dan 48 cedera ringan. Tragedi malam Natal di tahun 2000 tersebut sempat membuat kelimpungan aparat keamanan. Harap mafhum, peristiwa macam itu belum pernah terjadi sebelumnya. Sampai kemudian polisi berhasil menangkap Zoefri Yoes bin Yunus, seorang anggota Jamaah Islamiyah (JI) pada 9 Mei 2003. Mulai saat itulah muncul terminologi “bom malam Natal” dalam kamus terorisme dan kejahatan di negeri ini. IMG_2243

     Keharmonisan kehidupan beragama yang selama berpuluh-puluh tahun bahkan berabad-abad sudah terjalin baik, menjadi tercederai akibat ulah segelintir orang. Bagi warga Nasrani, rentetan “bom Natal” di tahun 2000 dan tahun-tahun setelahnya tentu menjadi mimpi buruk hingga kini. Bila ditinjau dari segi kerusakan fisik bangunan gereja, tentu relatif mudah dalam merehabilitasinya. Hal yang paling sukar dipulihkan adalah trauma psikologis yang menimpa semua warga Nasrani tanpa terkecuali. Sebagaimana dilaporkan oleh Pickett (1998) bahwa individu yang mengalami trauma bukan hanya korban trauma itu sendiri (victims) tapi juga mencakup mereka yang terkena trauma secara tidak langsung. Atau dengan kata lain, individu dapat mengalami trauma psikologis tanpa harus secara fisik bersentuhan dengan peristiwa traumatik tersebut atau mendapatkan risiko bahaya secara langsung. Bahkan hanya dengan mendengar tentang kejadian traumatik itupun dapat berpotensi untuk membawa kondisi trauma psikologis. Jelasnya, untuk beberapa waktu lamanya, warga Nasrani akan dihantui rasa was-was setiap menyambut Natal. Sungguh sebuah kerugian yang tak ternilai.

     Perlu upaya ekstra keras dari pelbagai pihak untuk membantu saudara-saudara yang Nasrani dalam mendapatkan rasa amannya kembali. Pemerintah melalui aparatusnya yang kompeten bisa menempuh berbagai upaya secara simultan dan berkesinambungan. Di bidang pendidikan perlu disisipkan materi tentang pluralism, multikulturalisme dan toleransi dalam materi ajar siswa pada berbagai jenjang. Kemampuan aparat keamanan mesti lebih di-up grade lagi dalam upaya preventif aksi teror. Intuisi dan kejelian intelijen dalam mengendus gelagat akan terjadinya tindak teror harus dipertajam. Organ-organ pemerintah, tokoh masyarakat serta masyarakat itu sendiri harus bekerja sama dalam memangkas habis faham radikal yang menyelipkan agenda kekerasan didalamnya. Aktifitas yang sifatnya bisa memperkuat kerukunan antar dan intra umat beragama lebih dipergencar dan dikonkritkan dalam program nyata yang melibatkan lapisan akar rumput. Jangan hanya berhenti pada acara deklarasi kerukunan yang sekadar seremonial belaka.

    Dengan begitu lambat laun tercipta suasana yang normal kembali di setiap malam Natal. Tak perlu lagi ada Banser, polisi dan tentara berjaga siang malam jelang Natal di depan gereja. Tak dibutuhkan lagi perangkat metal detector guna menyisir setiap tubuh dan isi tas jemaat gereja.

Sudah sewajarnya sebagai satu keluarga besar Bangsa Indonesia, kita semua ikut menjaga kekhidmatan warga Nasrani dalam merayakan Natalnya. Warga negara lain yang tak seiman harus turut menciptakan suasana yang kondusif. Itulah sebenar-benar sikap toleransi yang tak berhenti sebatas jargon belaka.

Danang Probotanoyo, Centre for Indonesia Reform Studies (CIRS), Alumnus UGM

TNI Profesional dalam Konsep MEF

Oleh: Danang Probotanoyo

Opini Saya di REPUBLIKA, Medio: Oktober 2014

Opini Saya di REPUBLIKA, Medio: Oktober 2014

    Seperempat abad silam, dalam suatu konferensi angkatan udara di Canberra, kepala Studi Strategi dan Pertahanan, Universitas Nasional Australia, Prof. Desmond Ball mencemaskan peningkatan kemampuan militer negara-negara Asia Tenggara. Ball sangat mencemaskan pembelian pesawat tempur modern dan kapal perang yang dilengkapi dengan rudal mutakhir oleh negera-negara Asia Tenggara. Pembelian senjata itu dikatakan akan mengurangi keunggulan militer Australia dalam hal teknologi militer. Dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya,  Indonesia tentu sebagai sumber utama kecemasan Ball. Australia memiliki kedekatan hubungan dengan Malaysia, Singapura dan Brunei sebagai sesama Commonwealth Nations. Bahkan Australia bersama dengan Selandia Baru, Inggris, Malaysia dan Singapura tergabung dalam pakta pertahanan FPDA (Five Power Defence Arrangement).  Jauh sebelum Ball melontarkan kecemasannya tersebut, Australia sudah memiliki phobia terhadap Indonesia di era Soekarno. Panglima ABRI (sekarang TNI), saat itu: Jenderal Try Sutrisno, cukup berang dengan sikap Indonesia-phobia sebagaimana diidap Ball. Try berujar, “Australia harus belajar sejarah, agar tahu bahwa Indonesia bukanlah negara ofensif melainkan defensif. Indonesia baru berperang bila kedaulatannya terancam!” Kekhawatiran beberapa pihak di Australia sejatinya menyimpan intellectual exercise dalam dua sisi. Secara internal, mendorong pemerintah Australia agar selalu meningkatkan anggaran pertahanannya. Secara external, meminta perhatian Amerika sebagai sekutu utamanya agar senantiasa melindungi Australia.   

      Benarkah secara militer, Indonesia bisa mengancam negara-negara tetangganya sebagaimana  ditakutkan Australia sejak puluhan tahun silam? Pembangunan postur dan kekuatan TNI dengan paradigma Minimum Essential Force (MEF) yang digenjot sejak tahun 2009 hingga 2024,  apakah akan merubah doktrin defensif TNI menjadi kekuatan ofensif regional?

     Di dalam buku putih Pertahanan Negara, tahun 2008, disebutkan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan strategis penyelenggaraan pertahanan negara. Di dalamnya menyangkut postur kekuatan pertahanan negara, gelar kekuatan, alat utama sistem senjata (alutsista) dan program pembangunan jangka panjang. Acuannya adalah kepentingan nasional. Bagaimanapun juga, kepentingan nasional suatu negara akan terlindungi apabila negara memiliki postur pertahanan yang kuat dan profesional, yang berdaya tangkal dan berdaya penghancur.   

    Kepentingan nasional adalah dasar menentukan sistem pertahanan dan keamanan negara serta strategi pertahanan negara sebagaimana diamanatkan alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945. Kepentingan nasional merupakan arah yang harus dicapai dalam strategi pertahanan negara untuk menjamin keutuhan wilayah NKRI, kedaulatan negara dan keselamatan segenap bangsa Indonesia. Berdasar kondisi lingkungan strategis, baik global, regional maupun nasional, pemerintah menetapkan kepentingan nasional Indonesia. Kepentingan nasional yang bersifat mutlak adalah tetap tegaknya NKRI. Fungsi pertahanan negara, dengan TNI sebagai tulang punggungnya, wajib menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI serta keselamatan segenap bangsa dari ancaman.

      Pembangunan pertahanan negara yang kuat harus didasarkan pada definisi ancaman terhadap kepentingan nasional. Kemampuan dalam mengidentifikasi ancaman dan perumusan kepentingan nasional merupakan langkah awal strategis membangun kekuatan sistem pertahanan  dan postur TNI. Paradigma MEF sejatinya belum mencerminkan kekuatan ideal yang dibutuhkan untuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan NKRI. Untuk menjaga dan mempertahankan negeri seluas lebih dari 5 juta Km2,  terdiri dari lebih 17.000 pulau dan berpenduduk sekitar 240 juta jiwa, sesungguhnya dibutuhkan angkatan perang kategori middle power. MEF merupakan format kekuatan minimal yang disiapkan sesuai dengan sumber daya yang terbatas, namun tetap mampu menjaga kedaulatan negara. Karena tak ada kepentingan nasional yang bersifat minimum, maka penetapan MEF seharusnya berdasarkan pada identifikasi ancaman terhadap kepentingan nasional. Dalam merumuskan strategi MEF, yang harus dilakukan pertama kali adalah mendefinisi dan mengidentifikasi lebih dulu: siapa lawan. Kerena suatu kekuatan militer dibangun guna menghadapi suatu ancaman militer dengan level tertentu.  Dalam penyusunan MEF acuannya adalah  faktor ancaman yang disesuaikan  dengan anggaran yang tersedia.

      Lalu, pihak mana saja yang dipersepsikan dapat mengancam kedaulatan dan keutuhan NKRI? Berdasarkan hasil analisis, invasi oleh bangsa lain terhadap  Indonesia, sangatlah kecil,   setidaknya hingga 25 tahun ke depan. Kondisi obyektif yang terjadi selama beberapa tahun belakangan, adanya silang sengketa dan aksi main klaim beberapa titik teritorial Indonesia oleh negera tetangga. Konflik di Laut China Selatan yang melibatkan beberapa negara ASEAN dan Tiongkok juga bisa mengancam kedaulatan NKRI yang berbatasan langsung dengan area yang dipersengketakan. Meski kedua kondisi obyektif tadi masih kental segi politisnya, namun Indonesia harus mempersiapkan diri sedini mungkin bila sewaktu-waktu bermetamorfosis menjadi konflik senjata. Sebagaimana dikatakan ahli strategi legendaris, Von Clausewitz, bahwa perang tak lain merupakan kelanjutan dari konflik politik.

      Hal paling menonjol dalam upaya mencapai MEF adalah pengadaan alutsita bagi tiga matra TNI. Pembelian alutsista baru dengan teknologi terkini memiliki arti ikut menjaga profesionalisme anggota TNI. Dengan profesionalisme tersebut, niscaya mampu menjauhkan TNI dari dunia politik praktis. Sebagaimana disampaikan Samuel P. Huntington (1957) bahwa semakin profesional militer, semakin memperkecil keinginannya mengintervensi arena politik.

      Jadi, dengan paradigma MEF, postur TNI yang kelak terbentuk hanya terbatas untuk menjalankan fungsi pertahanan negara yang bersifat defensif. Dengan konsep MEF pula, TNI menjadi militer profesional yang dijauhkan dari ranah politik praktis, sehingga TNI mampu berdiri di tengah semua aliran, kelompok dan partai politik yang ada.

Danang Probotanoyo, Center for Indonesia Reform Studies (CIRS), Alumni UGM

Menggadaikan SK, Menggadaikan Moral

Oleh: Danang Probotanoyo

Opini KR 3 Ok 2014

Opini Saya di Kedaulatan Rakyat, Medio: Oktober 2014

      Media diramaikan pemberitaan maraknya anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) di seantero negeri yang menggadaikan SK pengangkatannya sebagai wakil rakyat.  Kejadiannya sangatlah masif dari tingkatan DPRD Tingkat I (provinsi) hingga DPRD Tingkat II (kabupaten dan kota). Bahkan di satu DPRD, ada yang 50% anggotanya beramai-ramai menggadaikan SK.  Seperti di Kota Depok, separuh dari 50 anggota DPRD menggadaikan SK-nya di Bank Jabar Banten (BJB) (Tempo, 18/9). Latar belakang menggadaikan SK-nya pun bermacam-macam. Dari alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup, berbisnis, kredit rumah, kredit mobil hingga menutup hutang dana  kampanye pemilu.

      Apapun alasannya, tindakan menggadaikan SK anggota DPRD pasca pengangkatan mereka sebagai anggota dewan, sungguh tidak etis dan jauh dari kepatutan.

Mereka dipilih menjadi anggota DPRD tiada lain untuk menyuarakan aspirasi rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Lacurnya, begitu terpilih justru mempertontonkan “perjuangan” hidupnya sendiri. Kontradiksi dengan pidato-pidato mereka sewaktu kampanye. Di panggung-panggung, di media massa, di pasar-pasar dan banyak tempat lainnya, mereka menebar janji akan menyerahkan waktu, tenaga bahkan hidupnya untuk rakyat. Rakyat terpikat dengan bujuk rayu itu, lalu  menitipkan suaranya. Begitu mereka menduduki kursi terhormat  sebagai “wakil rakyat” lantas mereka berjuang untuk dirinya sendiri. Ini ironis! Rakyat seolah sebagai batu loncatan untuk mencari uang! Muncul keraguan motivasi mereka  mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Ada nuansa sekadar mencari penghidupan dengan menjadi anggota DPRD!

      Selain alasan untuk keperluan atau kebutuhan hidup sehari-hari,  diantara wakil rakyat yang menggadaikan SK-nya memiliki dalih untuk menutup hutang dana kampanye. Ini jelas mengisyaratkan bahwa uang memegang kendali dalam mendudukkan seseorang sebagai wakil rakyat. Lebih celaka lagi bila uang yang dikeluarkan selama kampanye tak hanya dipakai untuk biaya beriklan dan pasang spanduk, melainkan dipakai pula sebagai “sesaji”  dalam “ritual”  money politic.

     Wakil rakyat yang berhutang dengan menggadaikan SK-nya juga bisa memunculkan dependensi mereka terhadap pihak-pihak pemberi hutang. Mereka bisa tersandera alur logika “balas budi”. Bila berhutang ke bank daerah masing-masing, kelak mereka akan canggung kalau harus bersikap saat bank daerah itu ada masalah. Mereka juga menjadi kurang percaya diri saat berhadapan dengan pemda, yang notabene sebagai pemegang saham  bank-bank daerah. Lebih parah lagi bila berhutang kepada para “broker” pemilu. Para broker itu akan menagih jasanya dalam wujud proyek-proyek di daerah, dimana DPRD memiliki kewenangan dalam penganggaran. Inilah yang kerap memunculkan sistem “ijon” proyek-proyek di daerah. Ujung-ujungnya terjadi  tindak korupsi di daerah.

     Berhutangnya wakil rakyat di daerah-daerah dengan menggadaikan SK-nya patut dicermati  aparat penegak hukum, semisal KPK. Tak menutup kemungkinan hutang tersebut dijadikan kedok dalam aksi pencucian uang. Saat ditanyakan asal muasal hartanya yang melonjak, mereka memiliki alibi bahwa itu hasil hutang bank.   

      Fenomena penggadaian SK para wakil rakyat di DPRD bisa booming manakala Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) jadi kenyataan. Berlaku kredo take and give di sini. DPRD memilih kepala daerah yang bisa “melayani” mereka secara paripurna, termasuk dalam urusan berhutang di bank-bank daerah. Kepala daerah akan mendapat imbal balik dari para kreditor di parlemen.  Fungsi dewan dalam urusan anggaran, pengawasan dan pembuatan peraturan di daerah bisa terkendala. Dewan bisa dikendalikan kepala daerah, pun sebaliknya.

      Penggadaian SK anggota DPRD juga meneguhkan komitmen mereka lebih ke partai dibanding ke rakyat. Mereka jauh lebih takut ke partai politiknya daripada menuruti kehendak rakyat. Pergantian Antar Waktu (PAW) bisa menjadi hantu bagi anggota dewan yang tak sejalan kebijakan partai. Resiko bila terkena PAW adalah hutang yang tak terbayar alias kredit macet. 

     Banyaknya sisi negatif perilaku berhutang anggota DPRD tersebut hendaknya segera disikapi oleh badan kehormatan dewan dalam bentuk larangan menggadaikan SK wakil rakyat di segala tingkatan. Pemerintah pun bisa menerbitkan aturan yang melarang perbankan menerima SK dewan sebagai jaminan hutang.  

     Moral dan kepatutan harus menjadi sandaran utama anggota dewan. Sebagaimana Aristoteles (dalam Eudaimonia), “manusia hendaknya hidup bersandar moral, karena itulah jalan menuju kebahagiaan.” Menggadaikan SK anggota dewan untuk berhutang, jelas tak memiliki nilai moral dan kepatutan. Dus, tak membuat rakyat bahagia.

Danang Probotanoyo, Pusat Studi Reformasi Indonesia (CIRS), Alumni UGM

Lingkungan Hidup Tak Butuh Retorika

Oleh: Danang Probotanoyo

Opini Saya di Tribun Jogja, Medio: Mei 2014

     Terjadi banjir dimana-mana. Jakarta, sebagian pantai utara Pulau Jawa hingga Manado tergenang air bak lautan. Puluhan ribu orang menjadi pengungsi, belasan lainnya meninggal, kerugian materi mencapai triliunan rupiah. Kita tak bisa semata-mata berdalih ini akibat cuaca, ini bencana ekologis! Alam telah kita eksploitasi secara serampangan. Hutan ditebangi pohonnya, situ dan rawa kita urug untuk areal pemukiman dan industry. Terjadi kerusakan lingkungan secara massif dimana-mana.

     Dalam isu lingkungan hidup kita sering bersikap ambivalen. Senang membuat aneka gerakan dan retorika bertema peduli lingkungan hidup. Bila perlu memproduksi slogan-slogan bak pahlawan Bumi. Namun, praktek keseharian tak tergambar kecintaan terhadap lingkungan hidup. Dari yang terlihat sepele, misalnya penggunaan tisu. Nyaris dimana pun, tisu mudah kita temukan. Di dalam kantong, tas, dompet, meja restoran hingga di toilet, tisu sangat eksis. Sifatnya yang praktis, mudah didapat, pun harga murah, membuat tisu menjadi barang multi purpose menggantikan sapu tangan dan kain serbet. Namun, dibalik kemudahan dan ‘kenyamanan’ yang ditawarkan tisu, ada ironi besar. Tisu dibuat dari pulp (bubur kertas) yang berasal dari kayu pohon hasil penebangan hutan. Jika saja dalam sehari, separuh penduduk Indonesia menggunakan ½ gulung tisu, artinya butuh sekitar 100 juta gulungan tisu per hari. Bila 1 gulungan tisu memiliki berat 200 gram, dalam sehari tisu yang dipakai seberat 20.000 Ton. Bisa dibayangkan berapa jumlah pohon harus ditebang, berapa hektar hutan mesti digunduli bila 1 Ton pulp butuh 5 m3 kayu bulat. Dalam catatan Kementerian Kehutanan, hutan di Indonesia menyusut 1,5 juta hektar pertahun. Padahal berbicara hutan bukan soal pohon semata, namun semua spesies makhluk hidup yang terkait, termasuk fauna. Hilangnya hutan berarti hilangnya kehidupan fauna di sana. Hilangnya hutan juga mengundang aneka macam bencana, seperti banjir dan tanah longsor, dengan korban jiwa dan harta yang tak terkira. Ancaman lain eliminasi hutan adalah hilangnya sumber air di dalam tanah. Disebabkan tiadanya lagi yang berfungsi sebagai penangkap dan penyimpan air. Lantas manusia terancam krisis air. Contoh nyata di Pulau Jawa, hutan yang tersisa tak lebih dari 5 % dari total luas pulau. Banyak wilayah di Jawa mulai defisit air dan kekeringan saban tahun, akibat hilangnya hutan. Padahal air merupakan sumber kehidupan di Bumi. Tak ada makhluk hidup yang bisa hidup tanpa air. Namun begitu, perilaku harian kita pun tidak arif terhadap air.

     Orang jarang berpikir terhadap ancaman krisis air. Apalagi di zaman serba pencitraan dan senang dapat ‘wah’ seperti sekarang. Perilaku boros air menjadi tumbal kehidupan masa kini. Sering kita saksikan betapa mudahnya orang menjadi risih manakala mobilnya terkena noda debu barang sedikit. Saban hari mobil mesti dicuci, baik di rumah maupun di tempat pencucian. Alangkah sayangnya melihat air disemprotkan nyaris tiada putus selama 15 menit hingga setengah jam untuk sekali cuci sebuah mobil. Kubikan meter air bersih hilang demi memelihara nafsu ‘pencitraan’. Seharusnya tidak perlu berperilaku berlebihan seperti itu. Bila mobil terkena debu jalanan, alangkah bijaknya bila hanya dibersihkan pakai lap. Kalaupun butuh air bisa menggunakan ember kecil sekedar membasahi lap. Kecuali mengaku setiap hari mesti menyeberangi rawa-rawa atau medan berlumpur ala off roader. Penggunaan air tanah yang tidak bijak tersebut, diperparah dengan disia-siakannya air permukaan, misalnya sungai. Sudah bergenerasi bangsa ini menganggap sungai sebagai tempat pembuangan akhir. Segala sampah dibuang ke sungai. Limbah industri dan rumah tangga pun disalurkan ke sungai. Entah nalar apa yang mendasari bahwa sungai sama dengan tempat sampah. Padahal sungai sumber kehidupan aneka spesies yang hidup didalamnya, bahkan diantaranya menjadi pangan manusia. Sungai pun sejatinya merupakan cadangan air permukaan bagi kehidupan manusia. Nyaris sebagian besar sungai di Indonesia tercemar dan tak layak dikonsumsi.  

     Ancaman lain terhadap kehidupan adalah menumpuknya bahan-bahan yang tak mudah terurai di alam, plastik dan styrofoam contohnya. Gaya hidup masa kini penyumbang terbesar penumpukan bahan-bahan yang tak ramah lingkungan tersebut. Makanan zaman sekarang pembungkusnya pakai styrofoam, belanja di pusat perbelanjaan pakai bungkus plastik. Daun pisang dan jati sebagai pembungkus makanan sudah dianggap ketinggalan, begitupun masih rendah kesadaran berbelanja pakai kantong sendiri yang bisa dipakai berulang. Harap tahu saja, alam butuh ratusan tahun untuk menguraikan plastic, bahkan styrofoam tidak bisa terurai di alam.

       Berbicara lingkungan hidup tidak mesti muluk-muluk. Faktor terpenting dalam upaya menyelamatkan lingkungan hidup adalah perilaku keseharian yang arif terhadap lingkungan. Mengubah gaya hidup dengan mengurangi penggunaan tisu, styrofoam, plastik dan air sudah berandil besar bagi penyelamatan lingkungan. Membiasakan memakai sapu tangan, daun pisang dan lap ternyata sudah ikut menyelamatkan lingkungan hidup. 

Alienasi Rakyat dan Wakilnya

Oleh: Danang Probotanoyo

Opini Saya di Sinar Harapan, Medio: Mei 2014

Opini Saya di SINAR HARAPAN, Medio: Mei 2014

          Partisipasi politik rakyat dalam kadar minimal sudah ditunaikan tanggal 9 April yang lalu. Menurut data Komisi Pemilihan Umum, tak kurang dari 185 juta rakyat Indonesia – dari total 235 juta populasi – tercatat dalam daftar pemilih. Namun, berdasar hasil survey perhitungan cepat yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Cyrus Network, tingkat keterlibatan masyarakat dalam pemilu legislatif hanya 75,3 persen dan yang tidak memilih atau golput sebanyak 24,7 persen. Memang, tidak semua dari sejumlah 24,7 persen itu dikarenakan alasan “ideologis” sehingga tak menggunakan hak pilihnya. Halangan teknis tak jarang turut menyumbang angka golput itu. Seseorang bisa saja tidak terdaftar dalam daftar pemilih lantas malas mengurusnya atau tak punya cukup waktu untuk itu. Di luar kendala teknis,, angka golput yang mencapai 24,7 persen cukup merisaukan. Itu merupakan angka golput tertinggi dalam sejarah pemilu di Indonesia sejak pertama kali dilaksanakan tahun 1955!
Meski secara ideal, tindakan golput mencerminkan minimnya sikap partisipatif dan tanggung jawab terhadap nasib bangsa 5 tahun ke depan, namun tak serta merta pula pilihan untuk tidak memilih lantas bisa dipersalahkan. Tindakan menggolputkan diri berangkat dari rasa kecewa yang kronis terhadap tingkah laku para pemimpin dan elit-elit politik yang selama ini kerap berbuat yang tak pantas. Jagad perpolitikan tanah air sangat diwarnai dengan polutan demokrasi dalam wujud perilaku korupsi elit politik yang duduk di berbagai lembaga negara serta lembaga perwakilan rakyat. Selain korupsi, para wakil rakyat belum mampu menunjukkan etos kerja dan kinerja seperti yang diharapkan, ini tercermin dari rendahnya daftar presensi kehadiran di sidang dan rapat-rapat. Kalau toh hadir di ruang sidang, tak jarang waktunya justru dihabiskan untuk tidur. Ujungnya, produktifitas para wakil rakyat terkait fungsi legislasi masih amat rendah. Sebagai gambaran, dari target 76 RUU dalam Prolegnas 2013, sepanjang masa sidang I tahun 2013-2014, hanya 15 RUU yang berhasil mereka sahkan. Sedangkan pada masa sidang II, DPR baru membahas 33 RUU. Celakanya, itu pun baru pada tahap pembicaran tingkat pertama. Selain meruyaknya kasus korupsi dan rendahnya etos kerja serta kinerja wakil rakyat, publik kerap dibuat jengah dengan aksi foya-foya uang negara di kalangan wakil rakyat. Meski banyak pihak kerap menyuarakan tak efektifnya “budaya” kunjungan kerja dan studi banding ke luar negeri, nyatanya komisi- komisi di DPR tetap bergeming.   OPINIKU di Sinar Harapan 3 Mei 2014.-2
Nah, gambaran buruk wakil rakyat dan elit politik tadi telah “mendapat hukuman” dalam pemilu 9 April yang lalu. Wujudnya tercermin dengan tingginya angka golput. Sebagian masyarakat merasa “lelah” menyaksikan segala anomali para wakil rakyat di berbagai tingkatan. Rasa “lelah” itu lantas bertransformasi dalam wujud apatisme, tidak peduli dan ketiadaan trust lagi. Selama ini rakyat merasa hanya sebagai alat demokrasi semata dengan kedudukan sebagai “donatur” suara di TPS-TPS. Seusai rakyat memberikan suaranya, para “resipien” suara rakyat justru tak peka apa yang dimaui rakyat. Mereka terlampau asyik dengan dunianya sendiri: dunia elit!. Apatisme sebagaian masyarakat dalam wujud golput merupakan kulminasi dari rasa ketidakberartian (meaninglessness), ketidakmenentuan (normlessness) hingga keterasingan (isolation). Rakyat merasa teralienasi secara politik ditengah permainan politik para elit. Dalam bahasa Yinger (1973), alienasi politik rakyat merupakan bentuk kehilangan keterhubungan (loss of a relationship) rakyat terhadap para elit politik. Rakyat merasa segala keluh kesah dan aspirasinya tak terwakili lagi oleh para wakilnya di parlemen, sehingga rakyat merasa tidak perlu lagi berpartispasi dalam menentukan arah politik bangsa (loss of participation). Kendali politik berbangsa dan bernegara sepenuhnya berada di tangan elit yang telah berjarak dengan aspirasi rakyat; rakyat merasa kehilangan kemampuan mengendalikan (loss of control) dalam setiap putusan politik.
Rasa teralienasi rakyat dalam proses dan putusan politik negeri ini harus segera disikapi dengan perubahan perilaku para wakil rakyat yang telah terpilih pada pileg tanggal 9 April yang lalu. Perubahan perilaku wakil rakyat yang terpilih nantinya, dalam tataran minimal justru untuk kepentingan para wakil rakyat itu sendiri. Perubahan sikap itu paling tidak bisa menghindarkan para wakil rakyat dari aksi cibiran, cemoohan dan umpatan rakyat yang kerap merasa dibohongi. Dalam ranah yang lebih konseptual, perubahan perilaku wakil rakyat dan elit politik ke arah yang lebih baik, mampu meningkatkan legitimasi semua proses dan produk politik yang dihasilkan.
Rasa teralienasi rakyat secara politik bila tak tertangani akan berakibat pada penarikan diri rakyat (withdrawl) terhadap segala aktivitas politik negara. Kedua, akan menumbuhkan rasa tak percaya secara politik (political trust) yang pada akhirnya menggerus terhadap dukungan keberlanjutan proses politik negara (political support and political sustainability).
Segala anomali wakil rakyat dan elit politik yang lalu, hendaknya tak terulang lagi di periode 2014-2019 (dan juga periode-periode berikutnya). Perubahan perilaku itu hendaknya diwujudkan dalam beberapa tindakan nyata ke depannya. Minimal: jangan pernah lagi terlibat kasus korupsi; tingkatkan etos kerja dan kinerja sesuai dengan tugas dan fungsinya; jangan suka mengumbar hobi “plesiran” ke luar negeri yang minim manfaat dan memakai uang negara; integritas pribadi dan keteladanan mesti dirawat. Bila perubahan itu tak kunjung dilakukan, rakyat kembali akan merasa asing terhadap para wakilnya dan menganggap mereka bak “alien” dari negeri antah berantah.

Link: http://sinarharapan.co/index.php/news/read/140503166/Alienasi-Rakyat-dan-Wakilnya-span-span-.html

Membuat Buruh Bangga

OPINI Saya di Jawa Pos, Medio: April 2014

OPINI Saya di Jawa Pos, Medio: April 2014

Danang Probotanoyo

          Mungkin jarang ada anak di negeri ini yang bercita-cita menjadi buruh. Kalau, toh, akhirnya jutaan orang “memburuh”, mungkin karena nasib yang kurang mujur. Ini bukan satir. Bukan pula pesismistis. Titik tolak asumsinya pada dua hal yang melekat di diri buruh Indonesia, yakni: kehidupannya belum sejahtera serta ketidakpastian masa depan.
Lalu, siapakah yang termasuk dalam lingkup untuk disebut buruh? Buruh adalah mereka yang bekerja dan menggantungkan hidupnya dari gaji atau mendapat upah berkat jasa atau tenaga yang dikeluarkannya (Muchtar Pakpahan, 2010). Entah bagaimana ceritanya, makna buruh mengalami penyusutan. Istilah buruh cenderung hanya merujuk pada pekerja di sektor manufaktur, pabrik atau unit-unit usaha yang kecil lainnya. Itu pun masih tersegmentasi: yang bertugas di belakang meja akan disebut staf atau manajemen. Akhirnya buruh diidentifikasi pada kelompok karyawan level bawah, karyawan yang diupah karena aktivitas “fisik”, strata pendidikan relatif tidak tinggi. Karyawan swasta di belakang meja tak pernah merasa dirinya sebagai bagian dari buruh. Bahkan bisa jadi tidak mau bila disebut buruh. Mereka tidak paham atau malah malu kalau disebut “buruh”. Secara psikologis, kedudukan dan besaran pendapatan menuntun ego mereka untuk tak mau disebut “buruh”. Terjadi kerancuan istilah yang bersifat psikologis: buruh untuk menyebut pekerja level bawah, sedang di atasnya lebih nyaman disebut “karyawan” atau “pegawai”. Fragmentasi tadi tak jarang menimbulkan friksi kepentingan. Buruh sebagai pekerja lapis bawah kerap menyuarakan peningkatan kesejahteraan, sedang pekerja level atas memiliki “tag name” manajemen perusahaan berdiri di belakang pengusaha.
Tuntutan buruh untuk sejahtera adalah klasik. Buruh merasa keringat mereka belum dihargai. Dari catatan tahun 2014, upah buruh di rentang UMR Rp. 1,15 juta (NTT) – Rp. 2,4 juta (DKI). Dengan besaran tersebut, sangatlah sulit bagi buruh untuk hidup sejahtera bersama keluarga. Nilainya hanya cukup (cenderung kurang) untuk biaya hidup rutin harian. Tak ada kelonggaran untuk tabungan apalagi investasi masa depan, semisal: menyekolahkan anak hingga jenjang pendidikan memadai atau persiapan masa pensiun. Dua hal itu kerap menjadi “momok” buruh dalam menatap masa depannya. Buruh tentu ingin hidup sejahtera bersama keluarganya. Kalaupun sekarang kurang sejahtera, tentu mereka menginginkan anaknya kelak tidak mengalami kesempitan hidup juga. Salah satu cara memperbaiki nasib anaknya adalah membekali si anak dengan pendidikan yang memadai. Namun realita pengupahan kerap menjauhkan harapan itu. Adagium “kemiskinan akan melahirkan kemiskinan baru” pun menjadi sulit dipecahkan. Merujuk pada studi Robert Chambers (1983), buruh mudah masuk dalam Deprivation Trap atau jeratan kemiskinan. Menurut Chambers ada 5 jerat ketidakberuntungan itu: kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan dan ketidakberdayaan. Dalam konteks buruh, selain rendahnya upah (baca: kemiskinan), masalah “kerentanan” menjadi problem crusial. Buruh rentan terperosok dalam kubangan kemiskinan yang lebih dalam. Jelasnya, buruh rentan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Penyebab PHK sangatlah kaya motif dan alasan. Ada yang bernilai obyektif maupun subyektifitas manajemen dan pengusaha. Kebangkrutan, pabrik terbakar, pengusaha merelokasi usahanya ke luar negeri, cukup menjadikan buruh kehilangan pekerjaan. Faktor like and dislike atasan, sakit berkepanjangan kerap mengintai buruh untuk “dikandangkan”. Akhirnya roda penggerak kemiskinan (poverty rockets) akan bekerja mencetak kemiskinan yang baru. Pihak yang menyangkal kondisi demikian kerap mengajukan argumen: adanya instrumen pesangon. Bila dikembalikan lagi: berapa, sih, pesangon level buruh? Cukupkah untuk meneruskan hidup bersama keluarga? Atau bila diputar untuk investasi, investasi macam apa dengan nominal tak seberapa itu? Ujung-ujungnya buruh yang kena PHK akan masuk ke usaha informal skala gurem. Menjadi pengasong, PKL atau dagang kecil-kecilan di teras rumah. Janganlah membayangkan nilai pesangon buruh bak pekerja perminyakan atau manajer bank. Pesangon golongan pekerja papan atas itu bila hanya diparkir sebagai deposito, cukup untuk hidup bulanan. Bila diputar sebagai modal usaha bisa untuk membuat sebuah mini market atau kos-kosan. “Kerentanan” hidup buruh pun tak ada dalam kamus hidup mereka yang bekerja sebagai PNS. SK sebagai PNS sudah menjadi jaminan seumur hidup. Selain pendapatan perbulan yang jauh melampaui buruh (struktur gaji, tunjangan, honor, plus remunerasi), negara masih menjamin hidup PNS hingga meninggal. Fakta lain: PNS nyaris mustahil untuk dipecat! Bahkan bila mereka terlibat korupsi, status kepegawaiannya tak secara otomatis hilang. Berkaca pada kasus beberapa PNS di Riau dua tahun silam, selepas mereka dari bui karena korupsi malah naik jabatan.
Memang tak semudah membalik telapak tangan untuk memperbaiki nasib buruh. Perlu dukungan pemerintah agar buruh hidup layak, syukur-syukur sejahtera. Caranya tentu berpulang pada domain pemerintah terkait regulasi usaha. Reformasi birokrasi bila dijalankan dengan sebenar-benarnya bisa mengatrol kesejahteraan buruh. Poinnya: hilangkan semua ekonomi biaya tinggi! Caranya dengan membangun infrastruktur, memberi kemudahan akses perijinan yang serba cepat dan transparan serta membabat habis pungutan liar terhadap pengusaha. Bila semua itu bisa berjalan, niscaya pengusaha dapat mengalihkan dana yang cukup besar bagi kesejahteraan para buruhnya. Dengan begitu, kelak buruh akan menjadi profesi bermartabat karena ada kebanggaan (dignity), pengakuan (recognnition) serta harga diri (self esteem).
Danang Probotanoyo, Centre for Indonesia Reform Studies, Alumnus UGM


Tentang Blog Ini

Saya bukanlah tipe orang yang bisa tidur nyenyak dikala negeri ini rakyatnya masih banyak yang diperlakukan tidak adil secara sosial, politik dan hukum. Saya tidak kuasa menutup mata dan telinga, manakala diskriminasi dan kesewenang-wenangan masih merajalela. Berisi sedikit tulisan tentang banyak hal yang menjadi interes dan menarik minat saya untuk menuliskannya. Saya sisipkan pula beberapa arsip artikel karya saya yang termuat di media massa. Hanya sedikit yang saya unggah di blog ini (dari sekian banyak yang telah saya tulis). Pilihannya yang paling: impresif, menarik, berpengaruh dan memiliki nilai strategis yang saya tampilkan di blog ini. Bila ingin melihat karya saya yang lain, yang kental dengan perspektif Budaya (baca: sastra), silahkan berkunjung ke: danangprobotanoyo98.blogspot.com atau Perspektif Budaya Danang Probotanoyo. Semoga Bermanfaat Bila ingin berinteraksi dengan Saya lebih intens, silahkan ke : danangprobotanoyo@gmail.com

Cacah Tamu

  • 21.260 hits

Kunjungan

Asal Negara Tetamu

free counters

Sebaran Tetamu

Map

Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

Klik tertinggi

  • Tidak ada